Pages

Monday, May 9, 2011

pemikiran filsafat bahasa

JOHN LANGSHAW AUSTIN
John Langshaw Austin lahir di Austin Inggris (1911), belajar filologi klasik serta filsafat di Oxford dan menjadi profesor di sana. Waktu perang dunia ia bekerja sebagai militer bagi British Inteligence Corps dan mencapai pangkat letnan kolonel. Biarpun ia sendiri menerbitkan sedikit sekali tulisannya (pemikirannya, namun dengan kuliah-kuliahnya dan diskusi-diskusi berkala, ia mempunyai pengaruh besar sekali dalam kalangan filosofis Oxford. Sesudah ia meninggal pada umur 48 tahun tiga buku diterbitkan oleh  J.O. Urssin dan G.J. Warnock (Philosophical papers 191: edisi yang diperluas 1970) mereka mengumpulkan paper yang pernah dibawakan Austin pada perbagai kesempatan;
sense and sensi bilia (1962) bahkan memuat bahan kuliah yang diberikannya di Oxford dan dalam  How to do thing with words (1962) dicantumkan The William Jame Lecturs yang dibawakannya di Universitas Harvard (Amerika Serikat) pada tahun 1955.
 Di antara filsuf-filsuf Inggris mungkin tidak ada orang yang begitu bersemangat menyelidiki bahasa pergaulan sehari-hari seperti yang dilakukan Austin. Ia yakin bahwa kita dapat belajar banyak dengan memperhatikan bahasa biasa (sehari-hari)
. Bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi kongkrit di mana ucapan-ucapan kita kemukakan dari fenomena-fenomena yang dimaksudkan.

Menurut Austin, tidak sedikit masalah filosofis akan tampak dalam bentuk baru kalau didekati dengan menggunakan alat-alat yang terbenam dalam bahasa sehari-hari. Dalam hal itu Austin selalu menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkrit  di mana ucapan-ucapan kita dikemukakan dan juga dari fenomen-fenomen yang dimaksudkan dengannya. J.L.Austin menaruh perhatian pada kelompok ujaran yang tidak dimaksudkan untuk menyatakan benar atau salah. Maka salah satu karyanya yang termasyur adalah perbedaan yang dibuatnya antara:
Austin membedakan jenis ucapan yang sering kita jumpai dalam bahasa pergaulan sehari-hari menjadi dua, yakni:
a)    Ucapan Konstatif (Constative Utterance)
b)    Ucapan Performatif (Performative Utterance)

Ucapan Konstatif adalah ucapan atau tuturan yang kita pergunakan manakala kita menggambarkan suatu keadaan yang faktual. Dalam batas ini pandangan Austin masih sejalan dengan faham atomisme logik dan positivisme logik. Artinya, tidak ada kesulitan bagi kita untuk menerapkan “prinsip pendidikan” guna memeriksa benar atau salahnya suatu ucapan konstatif ini. Jadi dalam setiap ucapan konstatif ini terkandung suatu pernyataan yang memungkinkan situasi pendengar untuk menguji kebenarannya secara empiris atau berdasarkan pengalaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Istilah “konstatif” ini dipergunakan Austin untuk menggambarkan semua pernyataan yang dapat dinilai benar atau salahnya. Untuk menjelaskan hal di atas  dapat kita ajukan beberapa contoh:
•    Banyak pedagang mainan anak-anak  di pasar Sekaten.
•    Saya melihat seekor kuda nil di kebun binatang di loka Yogyakarta.
Pernyataan di atas merupakan ucapan konstatif, sebab menggambarkan keadaan faktual atau peristiwa yang dapat diperiksa benar atau salahnya. Ujaran konstatif memiliki daya untuk menjadi benar atau salah. Kita dapat membuktikan kebenaran ucapan seperti itu dengan melihat, menyelidiki, atau mengalami sendiri hal-hal yang telah diucapkan si penutur kepada kita. Oleh karena itu Austin menegaskan bahwa pada hakekatnya ucapan konstatif itu berarti membuat pernyataan yang isinya mengandung acuan histori atau peristiwa nyata.
Ucapan Performatif berbeda dengan ucapan yang dapat diperiksa benar atau salahnya, oleh karena itu pula dapat ditentukan kandungan makna dari ucapan tersebut maka ucapan performatif tidak dapat diperlakukan seperti itu. Karena itulah Austin menegaskan ucapan performatif tidak dapat dikatakan benar atau salah seperti halnya ucapan konstatif melainkan pantas atau tidak (happy or anhappy) untuk diucapkan seseorang. Di dalam ucapan performatif ini peranan si penutur  dengan berbagai konsekuensi yang terkandung dalam isi ucapannya sangat diutamakan. Untuk memperoleh penjelasan yang rinci kita dapat melihat contoh sebagai berikut:
•    “Saya bersedia menerima wanita ini sebagai istri yang sah” tentunya layak apabila diucapkan dalam sebuah upacara perkawinan.
•     “Saya namakan kapal ini Ratu Elisabeth”.
Dari contoh di atas, kita melihat bahwa peranan si penutur (saya) bertautan erat dengan apa yang diucapkannya. Ini berarti, masalah utama yang terkandung dalam ucapan performatif adalah, apakah si penutur mempunyai wewenang (kewajaran atau pantas) untuk melontarkan ucapan seperti itu. Menurut pendapat Austin, kita dapat mengetahui bentuk ucapan performatif ini melalui ciri-ciri berikut:
a)    Diucapkan oleh orang pertama
b)    Orang yang mengucapkannya hadir dalam situasi tertentu
c)    Bersifat indikatif (mengandung pernyataan tertentu)
d)    Orang yang mengucapkannya terlibat secara aktif dengan isi pernyataan tersebut.
Keempat ciri bisa saja dikenakan pada ucapan konstatif, namun penekanan utama dalam ucapan konstatif tidak terletak pada si penutur (subjek), melainkan pada objek tuturan-dalam hal ini peristiwa faktual. Sedangkan dalam ucapan performatif, penekanan utama tetap diletakkan pada si penutur dengan kepantasan dalam pengucapan.
Selanjutnya Jonh Langsaw Austin membedakan tindakan bahasa menjadi 3 yakni:
a)    Tindakan lokusi yaitu tindakan yang tidak mencerminkan tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya.
b)    Tindakan Illokusi yaitu tindakan yang mengharuskan si penutur melaksanakan isi tuturannya.
c)    Tindakan Perlokusi yaitu tindakan yang lebih melihat akibat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh isi tuturannya.
Ketiga tindakan bahasa ini selalu dipakai orang (sadar atau tidak) dalam berkomunikasi. Maka perlu pengetahuan dan pemahaman agar tidak keliru dalam menyampaikan sesuatu.

1 comments:

Z-N said...

like this...

Post a Comment