Pages

Tuesday, May 10, 2011

tokoh pendidikan

Muhammad Natsir
Islam adalah agama yang mengajarkan pandangan hidup bagi seluruh umat manusia, yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, material dan spiritual, dan yang lainnya. Muhammad Natsir adalah salah satu tokoh yang menggagas pembaharuan pendidikan Islam yang berbasis Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka pendidikan Islam harus bersifat integral, harmonis dan universal. Muhammad Natsir begitu penting dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. Beliau dikenal sebagai pahlawan nasional  kiprahnya dalam memajukan bangsa ini, beliau tidak hanya dikenal sebagai sosok negarawan, pemikir modemis, dan mujahid dakwah, akan tetapi dikenal juga sebagai seorang aktivis pendidik bangsa yang telah memajukan atau mengembangkan pendidikan .
Biografi Muhammad Natsir
Muhammad Natsir lahir pada hari jum’at 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan 17 Juli 1908 M, di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat. Ibu beliau bernama Khadijah
dan ayah beliau bernama Mohammad Idris Sultan Saripado.
Riwayat pendidikan Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Maninjau Sumatra Barat hingga kelas 2. Sekolah ini merupakan sekolah swasta yang mempergunakan bahasa Melaya sebagai bahasa pengantar. Setelah itu meneruskan di HIS Adabiyah Padang. Beliau melewati masa kehidupannya dengan penuh perjuangan berat. Pada usia yang sangat muda beliau sudah mulai berpisah dengan orang tuanya, dan menempuh hidup sebagai orang dewasa.
Selain belajar di HIS pada pagi hari, Natsir juga belajar di Sekolah Diniyah pada waktu sore dan belajar mengaji pada malam hari. Pada waktu itulah beliau mulai belajar bahasa Arab. Setelah lulus dari HIS, Natsir mengajukan permohonan untuk mendapatkan beasiswa dari MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs), dan ternyata lamarannya diterima. Di MULO Padang beliau mulai aktif dalam organisasi. Menurut beliau, organisasi merupakan pelengkap selain yang didapatkannya di sekolah, dan memiliki arti yang cukup besar dalam kehidupan bangsa.
Aktivitas beliau semakin berkembang ketika ia menjadi siswa di Algememe Midelbare School (AMS) di Bandung. Di kota ini beliau mempelajari agama secara mendalam serta berkecimbung dalam bidang politik, dakwah dan pendidikan. Muhammad Natsir ternyata tidak memperoleh pemikiran pendidikan keislamannya secara formal, melainkan melalui hubungan langsung dengan tokoh-tokoh pemikir Islam pda masa itu, khususnya A. Hasan dan Agus Salim, serta melalui karya-karya tokoh-tokoh pembaharu di Dunia Islam, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Pengaruh dari para tokoh inilah yang kemudian mematangkan pemikiran intelektual Muhammad Natsir. Minat dan kecenderungannya untuk mengkaji Islam sejak kecil, serta perhatiannya yang besar terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan mendorongnya aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan dan politik Islam.
Perhatian Muhammad Natsir terhadap kondisi pendidikan pada masa itu mendorongnya untuk mengikuti kursus guru diploma (Lager Orderwijs) selama setahun (1931-1932). Pada bulan Maret 1932 Persis (Persatuan Indonesia) menyelenggarakan pertemuan kaum Muslimin di Bandung dengan mengangkat persoalan pendidikan bagi generasi muda Islam sebagai tema sentralnya. Pertemuan ini melahirkan suatu perkumpulan yang diberi nama Pendidikan Islam (Pendis) dengan program utamanya meningkatkan mutu pendidikan melalui pembaharuan kurikulum, menanamkan roh Islam pada setiap mata pelajaran yang diajarkan kepada para siswa, serta mengelola system pendidikan yang dapat melahirkan lulusan yang memiliki kepribadian yang mandiri dan terampil.
Untuk mencapai tujuan tersebut, berusaha untuk mendirikan sekolah-sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak, HIS, MULO, pertukangan, perdagangan, kursus-kursus, ceramah dan lain sebagainya.
Hasrat, cita-cita dan keinginan yang kuat Muhammad Natsir untuk menjadikan Ialam sebagai dasar Negara dan juga dasar pendidikan. Kepiawaian, kredibilitas dan kemampuan Natsir yang dalam kenegaraan, keislaman dan perjuangan tidak hanya diakui oleh kalangan nasional, bahkan juga internasional. Disamping beliau memiliki perhatian terhadap perlunya pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, beliau juga meningkatkan dan mengembangkan pendidikan umat. Muhammad Natsir ingin agar pendidikan Islam memainkan peranan yang signifikan dalam memberdayakan umat.
Muhammad Natsir dikaruniai 6 orang anak, yaitu Siti Muchlisah (20 Maret 1936), Abu Hanifah (29 April 1937), Asma Farida (17 Mei 1941), Hasnah Faizah ( 5 Mei 1941), Aisyatul Asrah (20 Mei 1942), dan Ahmad Fauzi (26 April 1944). Dari keenam anaknya tersebut, tidak ada seorangpun yang mengikiuti jejak sang ayah. Yang melanjutkan Natsir adalah Nurcholish Madjid . Beliau kembali kerahmatullah pada tanggal 6 Februari 1993 M, bertepatan dengan 14 Sya’ban 1413 H di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam usia 85 tahun.
Gagasan dan pemikiran pendidikan Muhammad Natsir memiliki beberapa komponen yaitu:
Pertama, tentang peran dan fungsi pendidikan. Dalam hubungan ini terdapat 6 rumusan yang dimajukan beliau, 1. Berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sarana pendidikan dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna, 2. Pendidikan harus diarahkan agar anak didik memiliki sifat-sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak karimah yang sempurna, 3. Berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar (bukan pribadi yang konkrit), 4. Berperan membawa manusia agar mencapai tujuan hidup, 5. Harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilaku atau interaksi vertical maupun horizontalnya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam, 6. Pendidikan harus benar-benar mendorong sifat-sifat kesempurnaannya dan bukan sebaliknya. Bagi beliau pendidikan harus dapat melahirkan lulusan yang dapat melepaskan diri dari sifat ketergantungan pada orang lain serta menumbuhkan sifat berinsiatif untuk mandiri.
Kedua, tentang tujuan pendidikan Islam. Pada hakikatnya tujuan pendidikan adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya adalah menghasilkan manusia yang berperilaku Islam, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah sebagai sumber kakuasaan mutlak yang harus ditaati.
Menurut beliau, dalam menerapkan tujuan pendidikan Islam hendaklah mempertimbangkan posisi manusia sebagai ciptaan Allah yang terbaik dan sekaligus kholifah di muka bumi ini. Dengan mengacu pada surat: Adz-Dzariyat-56, Al-Fathih-28, Al-Baqarah-177. Pendidikan yang berkualitas tinggi yaitu pendidikan yang dapat memberikan bekal ilmu pengetahuan baik agama, maupun umum yang luas, penguasaan terhadap telnologi modern, ketrampilan, pengalaman, hubungan yang luasa serta akhlak yang mulia.
Ketiga, tentang dasar pendidikan. Perlunya tauhid sebagai dasar pendidikan, menurut beliau pentingnya tauhid sebagai dasar pendidikan berhubungan erat dengan akhlak yang mulia. Tauhid dapat terlihat manifestasinya pada kepribadian yang mulia, yaitu: a. Pribadi yang memiliki keikhlasan, b. Kejujuran, c. Keberanian, d. Bertanggung jawab.
Menurut Natsir, tauhid harus menjadi dasar berpijak setiap muslim dalam melakukan segala hal, diantaranya pendidikan. M. Natsir juga menggariskan bahwa tauhid haruslah dijadikan dasar dalam kehidupan manusia, diantaranya dalam masalah pendidikan. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berasas pada tauhid.
Beliau berpandangan bahwa pendidikan tauhid harus diberikan kepada anak sedini mungkin, selagi masih muda dan mudah dibentuk, sebelum didahului oleh materi dan ideologi dan pemahaman lain. Menurut beliau, meninggalkan dasar tauhid dalam pendidikan anak merupakan kelalaian yang amat besar. Bahayanya sama besarnya dengan penghianatan terhadap anak-anak didik. Walaupun sudah dicukupkan makan dan minum, pakaian dan perhiasan, serta dilengkapi pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini menurut beliau tidak ada artinya apabila meninggalkan dasar ketauhidan dalam pendidikan mereka.
Keempat, tentang ideology dan pendekatan dalam pendidikan. Antara pendidikan agama dan pendidikan umum memiliki keterpaduan yang seimbang. Muhammad Natsir membagi keseimbangan antara pendidikan Islam yang meliputi tiga hal yaitu: 1. Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, 2. Antara badan dan roh, 3. Antara individu dan masyarakat.  Konsep pendidikan yang integral, harmonis dan universal tersebut oleh Natsir dihubungkan dengan misi ajaran Islam sebagai agama yang bersifat universal.
Menurut Natsir, bahwa Islam bukan sekedar agama dalam pengertian yang sempit mengatur hubungan dengan Tuhan saja, melainkan juga mengatur hubuingan manusia dengan manusia. Seterusnya Natsir meyakini bahwa Islam adalah agama fitrah, yaitu agama yang ajaran-ajarannya sejalan dengan fitrah manusia yang memerlukan bimbingan Tuhan dengan tujuan agar jiwanya tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya. Untuk itu Natsir menyarankan agar pendidikan dilakukan dengan metode yang tepat dan efektif.
Pandangan Natsir tentang Islam yang integral antara dunia dan akhirat tersebut selanjutnya mempengaruhi pandangannya tetang integrasi tentang pendidikan agama dan umum yang selanjutnya mengarah pada penghapusan dikotomi antara keduannya. Hal yang demikian sejalan dengan pandangan para tokoh pembaru Islam seperti Muhammad Abduh.
Menurut Muhammad Abduh, pendidikan agama harus disatukan dengan pendidikan umum. Untuk mewujudkan tujuan ini, kurikulum yang selain berisi ilmu-ilmu fiqih, ushul fiqih dan tafsir, juga berisi ilmu pengetahuan yang mencangkup ilmu bumi, falak, hitung, sejarah, jiwa, kedokteran, pertanian, biologi, sosiologi. Semua ilmu dunia dan akhirat disatukan menjadi ilmu pengetahuan yang bulat, karena semua ilmu pengetahuan pada hakikatnya berasal dari Allah SWT.
Kelima, tentang fungsi bahasa asing. Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar perananya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangasa. Muhammad Natsir mengutip dari Dr. Drewes bahwa sebagai dasar bagi kecerdasan salah satu bangsa adalah bahasa ibunya sendiri. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat-sifat dan kebudayaannya sendiri. Maka bahasa merupakan salah satu factor terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu bangsa.
Akan tetapi Muhammad Natsir juga memperhatikan akan pentingnya bahasa asing, karena dengan kita belajar bahasa asing, kita dapat memahami antara bangsa satu dengan yang lainnya.
Keenam, tentang keteladanan guru. Menurut DR.G. J.Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, bahwa suatu bangsa tidak akan maju sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa. Guru harus memiliki pengorbanan yang besar, ia harus rela menanggung kesengsaraan hidup yang disebabkan oleh upah yang tidak memadai, sementara ia dituntut harus professional dalam menjalankan tugasnya serta memiliki roh keagamaan yang kuat.
Muhammad Natsir tidak termasuk orang yang berjuang mencari kekayaan. Gaji atau penghasilan yang kurang memadai sebagai guru tetap dijalani oleh Natsir. Beliau adalah seorang yang teguh pendirian dan benar-benar berjuang untuk pendidikan. Beliau selalu mendasarkan tujuannya pada prinsip, gagasan dan cita-cita membangun satu system pendidikan yang lebih sesuai dengan hakikat ajaran Islam.
Muhammad Natsir adalah tokoh nasional dan internasional yang memiliki integrasi pribadi dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan Negara dengan menjadikan Islam sebagai landasan motivasi perjuangannya. Beliau juga termasuk pemikir dan arsitek pendidikan Islam yang serius . ia menyadari bahwa pendidikan merupakan media yang paling strategis untuk memberdayakan anak bangsa.
Natsir memilki masalah pokok untuk mengatasi keterbelakangan dalam pendidikan yaitu:
a.    Dengan merombak system yang dikotomis kepada sisitem yang integrated antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum
b.    Dengan merombak kurikulum dari kurikulum yang dikotomis menjadi kurikulum yang integrated.
c.    Dengan mempersiapkan tenaga-tenaga guru yang memilki komitmen dan pengabdian bagi kemajuan bagsa dan Negara.
Gagasan dan pemikiran Natsir, baik dalam bidang kenegaraan maupun bidang  pendidikan, tampak dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal. Yang dimaksud factor internal adalah kecerdasan, karakter dan keribadian Natsir yang demikian kuat, tabah dan rela berkorban untuk memperjuangkan kebenaran yang diyakini sekalipun harus dibayar dengan penderitaan. Dan yang dimaksud dengan factor eksternal adalah penjajahan Belanda yang telah menyengsarakan rakyat baik lahir maupun batin dan juga kondisi umat Islam sendiri yang bersikap pasrah, memusuhi ilmu pengetahuan, tidak menguasai manajeman dan cita-cita yang tinggi.
Muhammad Natsir tercatat sebagai tokoh negarawan yang super aktif, tapi beliau termasuk pula tokoh intelektual Muslim yang produktif. Beliau telah menulis lebih dari 52 judul buku yang beliau tulis sejak tahun 1930. Diantara karya tulisnya adalah Islam Sebagai Ideologi ( Jakarta: Pustaka Aida, 1951) yang membicarakan tentang ajaran Islam dalam hubungannya dengan pedoman hidup manusia, agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam ( Medan, tp.p 1951) yang membahas tentang hubungan agama dan negara, Capita Selcta I ( Jakarta: Bulan Bintang, 1954) yang membahas tentang kebudayaan, filsafat, pendidikan, agama dan ketatanegaraan, Islam Sebagai Dasar Negara ( Bandung, tp.p 1945) membahas tentang Islam sebagai dasar negara dengan suatu keyakinan bahwa ajaran Islam mencangkup urusan duniawi dan ukhrawi, Some Observation, Concerning the Rule of Islam in National an International Affair ( Ithaca: Departemen of Eastern Studies, Cornel University, 1945), yang memuat tentang hasil pengamatan Natsir terhadap perhatian dan kesungguhan umat Islam dalam menegakkan ajaran Islam, Fiqh Dakwah ( Solo: CV Ramadhan, 1965) yang berisi tentang tata cara dan etika dakwah dengan berpedoman pada model dakwah Rasulullah.
Dari beberapa karya tersebut, terlihat jelas bahwa Muhammad Natsir di samping memiliki perhatian terhadap perlunya ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga perlu meningkatkan dan mengembangkan pendidikan umat.
Pada pemikiran Muhammad Natsir ini termasuk pemikiran pendidikan yang mana antara pendidikan dunia dan akhirat setara. Yaitu tidak lebih cenderung terhadap pendidikan duniawi saja ataupun pendidikan untuk ahirat saja. Pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab seorang guru, akan tetapi juga tanggungjawab orang tua. Itu hukumnya adalah fardhu ‘ain, karena dalam pandangan Islam, anak adalah amanat bagi keduanya yang harus dididik dan dipimpin. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6
Menurut Muhammad Natsir, maksud ayat ini adalah: “harus kita berikan kepada anak dan istri kita didikan yang memeliharanya dari dari kesesatan dan memberi keselamatan kepadanya di dunia dan akhirat.”
Dalam pemikiran Muhammad Natsir sedikit berbeda dengan pemikiran KH. Imam Zarkasyi, disini saya sengaja ingin membandingkan antara pemikiran pendidikan Muhammad Natsir dengan KH. Imam Zarkasyi, karena saya sudah pernah merasakan atau pernah belajar di Pondok Modern Gontor. Saya bisa langsung merasakan pendidikan dari KH. Imam Zarkasyi, dan tidak semua orang bisa langsung merasakan pendidikan itu.
Memang benar, pemikiran antara Muhammad Natsir dan KH. Imam Zarkasyi sama, yaitu antara pendidikan umum dan agama harus sebanding. Akan tetapi dalam bentuk gagasan berbeda. Muhammad Natsir memiliki pendapat bahwa pendidikan di pesantren atau di madrasah tidak memberi bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan ketrampilan yang memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang. Akan tetapi kenyataannya, selama saya menuntut ilmu di Pondok Modern Gontor, saya dibekali ilmu agama dan juga ilmu umum yang cukup. Jadi tidak semua madrasah atau pesantren itu hanya cenderung kepada pendidikan atau ilmu agama saja.
Pernyataan yang diungkapkan oleh Muhammad Natsir tentang pendidikan di madrasah ataupun di pesantren yang lebih cenderung kepada keagamaannya, hanya memacu kepada Pondok Pesantren tradisional. Sedangkan KH. Imam Zarkasyi terpanggil untuk mengatasi berbagai kelemahan pendidikan pondok pesantren tradisional dengan menekankan pada tujuan pendidikan yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik agar siap dan mampu hidup bermasyarakat sesuai dengan bidang keahliannya.
Disini saya lebih cenderung membandingkan antara gagasan pendidikan Muhammad Natsir dengan KH. Imam Zarkasyi, dikarenakan menurut saya diantara kedua memiliki tujuan yang sama, akan tetapi konsepnya berbeda. Pada tujuan pesantren itu sendiri KH. Imam Zarkasyi berpendapat bahwa:” Yang jelas hanya satu saja , yaitu untuk menjadi orang......jadi masih bersifat umum dan belum menjurus, belum calon dokter belum calon kusir, belum calon apa-apa. Katakanlah calon manusia itu apa kerjanya? Dari pendidikan yang kami berikan itu mereka akan tahu nati di masyarakat apa yang akan dikerjakan....Jadi persiapan untuk masuk masyarakat dan bukan untuk masuk Perguruan tinggi. Maka dari itu, kami namakan pendidikannya, pendidikan kemasyarakatan dan itu yang kami utamakan.”
Dari pernyataan inilah kita bisa menyimpulkan bahwa dalam pendidikan Pondok ataupun pesantren tidak mendidik anak didik untuk menjadi kyai ataupun guru saja, akan tetapi memdidik untuk menjadi oarng yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Saya masih teringat perkataan KH. Ahmad Sahal dalam acara “Kick andy”, yang mana beliau berkata:” Di Pondok Gontor bukanlah dididik menjadi seorang guru, akan tetapi jika anda ingin menjadi polisi, jadilah polisi yang baik, jika ingin menjadi guru, jadilah guru yang baik, jika ingin menjadi pedagang, jadilah pedagang yang baik, jika ingin jadi pengusaha, jadilah pengusaha yang baik........”
Pernyataan ini mengantung arti bahwasanya, disana ditempa untuk menjadi orang yang ikhlas, sederhana, mandiri, mengembangkan ukhuwah islamiyah dan berjiwa bebas. Selain memiliki mental yang tangguh, para lulusanpun juga memiliki bekal keterampilan dalam medapatkan kehidupan.
Sedangkan Muhammad Natsir  juga memandang bahwa pendidikan itu sangatlah penting. Karena keberadaan pendidikan ini menjadi prasyarat kemajuan sebuah bangsa. Diantara pernyataan beliau di awal tulisan ini:” Madju atau mundurnja salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada peladjaran dan pendidikan jang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa jang terbelakang menjadi madju, melainkan sesudahnja mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka”.
Setelah kita amati perkembangan pendidikan saat ini sebagian besar para pendidik menggunakan metode CTL (Contextual Teaching and Learning), PAKEM ( pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan), Comperative Learning. Karena dengan perkembangan saat ini, para pendidik harus lebih efektif dalam pembelajaran.
Jadi pendidikan itu sangatlah penting, maka dari itu kita sebagai anak didik harus benar-benar bersungguh-sungguh dan selalu semangat, tidak boleh mengeluh dan putus asa. Karena kemajuan bangsa kita ada ditangan kita. Ingatlah salah satu kata bijak: “ Man jadda wa jadda” barang siapa bersungguh-sungguh maka dapatlah ia.
Saya teringat perkataan salah seorang ustadz di acara pengajian, beliau berkata: “Semakin gelapnya malam, maka semakin dekat dengan fajar.....semakin banyaknya masalah dan beratnya persoalan, maka semakin dekat dengan jalan keluar”. Jadi kita sebagai calon guru tidak bolah mengeluh ataupun putus asa. Dari semua gagasan pemikiran Muhammad Natsir maupun tokoh pendidikan lain, telah menjadi motivasi untuk kita, bahwa pendidikan sangat diperlukan bagi kalangan anak-anak, dewasa maupun tua sekalipun. Education is importain for us...............
Daftar Pustaka
Nata Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003
Nata Abudin, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta 2005
Natsir Muhammad, Capita Selecta, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta. Cet III, 1973.
Suyanto Kasihani, Model Pembelajaran, Universitas Negeri Malang BPSG, November 2007

0 comments:

Post a Comment